Januari
12
Ini cerita tahun dulu. Ini memori ketika aku berumur 13-15 tahun. Ini kisah ketika aku masih berdiri di atas tanah SMP Negeri I Muara Enim. Tuhan selalu baik padaku. Alhamdulillah. Sejak dulu. Ini adalah masa kejayaan untukku hidup dalam dunia persekolahan pra kuliah. Dulu, aku dinilai sebagai murid yang terpintar di sekolah. Dulu, aku dinilai murid terajin di SMP itu. Dulu, aku selalu benar-benar menjadi RATU di setiap nilai ulangan dan si setiap mata pelajaran, kecuali olahraga. Dulu, nilaiku selalu mencapai sempurna. Dulu, aku tak butuh menghabiskan beberapa kertas untuk menjawab soal matematika. Dulu, aku tak pernah menciptakan goresan pulpen merah diatas kertas ulangan. Dulu, aku adalah nomor satu. Iya, tiga tahun berturut-turut aku selalu mendapat hadiah buku paling banyak daripada teman-temanku. Selalu.
Tapi, karena itu aku jadi manusia level tinggi. Karena kurangnya bersyukurku atas semua kenikmatan Tuhan itu, aku menjadi orang yang selalu haus kesempurnaan. Aku selalu menangis ketika nilai matematika ku hanya mencapai angka 8 atau 9, itu nilai paling bawah menurut kepuasan hatiku saat itu. Aku selalu menuntut jawaban yang benar ke guru-guru ketika nilaiku tidak mencapai 10. Aku tersedu sedan ketika nilai raport ku menurun padahal aku tetap nomor SATU.
Teman, kalian tau tidak? Ternyata selama aku menangisi nilai tidak sempurna itu, aku menyakiti hati teman-teman lain yang mungkin perjuangannya jauh lebih keras dari aku. Mereka tersakiti atas ketidakbisaan aku bersyukur atas nikmat dari Tuhan yang maha kaya itu. Ternyata, teman-temanku teriris hatinya ketika aku memilih membanjiri wajahku karena nilai ulangan Fisika yang hanya mencapai 9. Ternyata, teman-temanku terluka hatinya ketika aku meratapi turunnya nilaiku padahal posisi ku masih yang ter-emas.
Sekarang, aku yang tersakiti ketika teman seumur kuliah ku menangisi nilai A- nya padahal dia adalah termasuk penunggang terkaya nilainya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mereka menyedihkan nilai dewa yang ada minus (-) nya itu. Meratapinya di twitter, menangisinya di Facebook. Tapi, itulah manusia.
Teman memang benar kok, kita akan lebih terpacu jika membandingkan dengan hasil yang terhebat. Memang benar, manusiawinya kita tak pernah puas. Tapi, jangan lupa. Jangan menutup mata. Jangan menyempitkan pandangan. Diluar sana, ada banyak orang yang berjuang keras demi memahami semua pelajaran kedokteran itu. Ada orang yang tidurnya jauh lebih sedikit dari kamu yang IQ nya selangit, demi masuknya materi-materi itu. Ada orang yang hampir memaki dirinya sendiri ketika dia belajar, karena dia lupa segalanya setelah dia berhenti sejenak. Ada orang yang rela membenturkan kepalanya ketika belajar, demi tersadarnya ia, karena ngantuk senang sekali bersahabat dengannya. Itu perjuangan orang-orang yang mungkin dibawah kamu, yang mungkin ingin mencoba seperti kamu, yang mungkin perjuangannya lebih keras dari kamu yang kaya IQ. Tolong lebih bersyukurlah untuk semua yang Tuhan hadiahkan untuk tiap tetesan keringatmu itu.
Jakarta, 12 januari 2010
Dari Aku masih di tempat yang sama, Wisma Rini