Januari
11
Ini hari ke 526 aku ada di Jakarta, kota kelahiran negeri ini. Aku menuntun ilmu disini, kadang-kadang diwaktu senggang aku main ke mall disekitar sini. Atau lebih sering tidur diatas “tanah” Jakarta. Nonton ke Metropol naik bajaj. Makan ke Hokben Jatinegara naik motornya Hasna. Minum jus di kantin asrama. Atau sekedar berbincang ke pinggir pantai ancol bersama sahabat hatiku. (hehehe... XD)
Dari sini, aku banyak diajarkan sesuatu oleh Tuhan pencipta alam semesta. Aku digurui disini. Ada lebih dari satu “santapan” yang sudah aku “telan”. Aku jadi tau. Bahwa kalau naik angkot 01 ke Senen harus berangkat dibawah jam 8 biar ga macet dan cepat berangkat. Harus siap macet kalau pulang malam dalam keadaan jakarta ditangisi oleh Tuhan.
Di Jakarta itu harus siap tergesa-gesa naik kopaja, turunnya juga. Harus siap “empil-empilan” di kopaja sampai kampung melayu. Harus siap bersapa “hai” dengan adik-adik yang ga pake sandal, baju compang-camping, kotor, atau bapak-bapak yang cacat, matanya hilang sebelah atau bahkan yang hidungnya ga tau dimana. Ironis sekali keadilan dalam hidup ini. Di Jakarta juga harus siap berhadapan dengan orang-orang yang serba individualis. Harus siap keluar duit banyak kalo jalan-jalan, karena angkot nyambung-nyambung dan kadang-kadang dibumbui dengan kesasar lebih dulu. Harus siap nyebrang di lampu merah yang tetap aja motor dan mobil ambil kuasa, entah karena mereka semua buta warna atau memang mereka pikir “Jakarta punya gue, siape elu?”. Di Jakarta itu, harus siap bersahabat dengan luapan air kepunyaan Tuhan, sungai. Harus siap punya kos-an yang suasananya hampir sama sekali kumuh. Atau harus siap punya kos-an yang harganya semuanya hampir mampu mencekik orang tua. Harus siap kepanasan oleh panggangan mataharinya Tuhan. Harus siap cepat keriput karena kena polusi asap setiap hari. Harus siap membela diri kalau digodain abang-abang sopir tak tau malu. Harus siap keluar duit ekstra kalau mau masak, karena susah banget nyari pasar tradisional disini. Alfamart, alfamidi, carefour sudah jadi Raja disini. Harus siap liat kebrobokan anak-anak sekolah yang hobinya “main” tawuran. Harus siap ngeliat cewek-cowok yang kalo pacaran lebaynya setengah metong. Harus siap juga ngeliat paha-paha mulus kadang putih kadang item (tambah ga tau malu ini orang) yang terpajang di hampir setiap mata memandang. Harus siap liat motor nyalip dengan “kurang ajarnya”. Harus siap melototkan mata ke mobil yang ngotot jalan ditengah lampu merah sedang menyala dengan klakson yang kedengeran sampe Palangkaraya, padahal kita masih berlenggang di jalan raya. Harus siap mental karena disini kesenjangannya sungguh jauh berbeda. Dan lain sebagainya. Ada banyak bumbu-bumbu yang akan membuatmu sedap disuatu ketika.
Yang terpenting, di Jakarta kita harus punya Tuhan. Harus punya bimbingan. Kalau ga, mana kita tau semuanya yang dihadiahkan Tuhan itu adalah upaya kita untuk jadi BERHARGA.
Jakarta, 11 Januari 2011
Dari sudut kamar 121, Wisma Rini
11 Januari 2011 pukul 02.53
Ratuu.. :)
bagus sekali...tulisannya..
bener banget yg ratu bilang..
jadi kangen rumah niih..
hihihiii..
_imel_