twitter
rss


Sekarang jendela malam Tuhan sudah turun. Jelas, mungkin enam puluh detik lagi, adzan dari masjid kampusku mengutara di senja yang hampir habis mataharinya hari ini. Dia, tiba-tiba dengan gaya seperti baru saja ditipu mentah-mentah lalu membela diri mengomel tapi bukan hanya sekedarnya.

“Ini kenapa sih ga dibuang aja yang kayak gini-gini? Asep udah segitu item.”

Aku teman sebayanya yang ikut menoleh keluar kaca, mencari siapa tersangka yang dimaksud lalu mencoba menyambut pembicaraan tadi.

“Ga bisa Jonai. Mereka itu sudah dicek di badan xxx. Meski udah se-item itu asepnya tapi, disana mereka bayar. Jadi ya tetep ada yang kayak gitu-gitu.”

“Emang abis berapa sih duit buat bayar begituan?”

“Ga tau sih. Masukkin kendaraan kesana aja bayar sama petugas masuk 20.000, bayar buku baru tanda sudah cek kendaraan mungkin 50.000-75.000-an, nanti keluar bayar lagi 20.000. Bukunya itu, buku tanda klo kendaraannya baik-baik aja. Yaaaa...mungkin 100.000-an atau 150.000 kali paling mahal. Jelas mau lah ya mereka bayar, kan kl ganti onderdil kendaraan lebih mahal.”

“Iya sih. Ya udah deh, langsung buang aja kl nemu yang gitu. Gak perlu lagi di cek-cek segala.”

“Sekarang aku tanya, emang yang mau buang itu kendaraan siapa?”

     Suara laki-laki dua puluh tahun itu mulai melunak. Sejenak dari kaca kecil dalam mobil kuintip, duduknya yang tadi tegak tegap berdiri gagah dengan semangat berkobar mungkin, menyesaki dada juga mulai mengendur membungkuk sedikit lalu bersandar di kursi mobil.

“Iya sih. Tapi, pasti masih adalah yang mau nanganin. Masa ga ada sama sekali? ”

“Ada, mesti ada. Cuma, kalau baik tapi berdiri sendiri? 1 lawan 100? Kita mau apa? Klo kita ga mau curang misalnya, tapi memang rule di pemerintahan sudah begitu. Mau gimana lagi? Memang sudah mendarah daging kan?”, balasku kembali juga dengan kesedihan yang sama dan mendalam atas ke-brengsek-an oknum Negeri bahari yang kaya sekali ini.

“Iya. Memang sudah jadi tradisi sih. Tapi harusnya masih ada. Harusnya bisa!”.

“Iya. Di dinas kesehatan juga ada yang kayak gitu-gitu”, laki-laki ku menambahkan kalimatnya di ujung pembicaraan.

     Bincang-bincang gratis itu dibuka oleh teman sejawatku. Dia, Johny Bayu Fitantra. Terang sekali dari protesnya di senja jakarta tadi itu karena ke-care-annya atas lingkungan. Bukan apa-apa. Bukan karena ingin sok sebal. Juga bukan sekedar iseng komentar. Tapi, mau menyalahkan siapa aku juga mulai bingung.
     Kendaraan ada tanda kemajuan transportasi. Alhamdulillah donk ya. Semakin banyak pengguna Avanza, Innova, Jazz, Karimun, Alphard, CR-V, Hammer juga tanda semakin banyak kepala-kepala manusia yang sejahtera. Alhamdulillah kan?
     Sekarang, kalau mengulik bajaj, angkot, dan bis dalam kota. Jumlahnya tak cukup dihitung dengan jari kaki dan tangan seratus orang. Artinya jumlah kendaraan umum yang berlenggang dijalan ibu kota (termasuk kendaraan yang jalan sesuka hatinya), ada banyak. Semua kendaraan itu tiap waktunya selalu diisi oleh para mandiri yang mobil motor pribadinya masih di dealer dan belum dibayar (baca: ga punya mobil motor). Artinya lagi, kendaraan-kendaraan umum itu menolong mereka yang membutuhkan. Dan yang mengkonsumsi layanan ini juga menolong balik dengan membayar kewajibannya ke pemilik kendaraan. Saling tolong-menolong, toh? Alhamdulillah juga kan?
     Lantas, kalau bajaj, angkot, bus kaleng dengan asap hitam itu digudangkan, penghasilan para imam dari wanita-wanita berkeluarga itu darimana? Bukankah mencari pekerjaan itu tidak semudah berdiri dari duduk? Tidak semudah membuka halaman buku lembar demi lembar. Juga tidak semudah meneguk minuman segar.
     Lalu, kepada bapak dan ibu yang bekerja di tempat pengecekan kendaraan. Duduk berjam-jam. Mengetik berulang-ulang. Membuka gerbang ribuan kali. Melihat-lihat kerusakan mobil ratusan ribu kali. Menghidup-matikan alat pengecek mesin jutaan kali. Mengecap buku kendaraan tanda selesai “masuk rumah sakit” juga jutaan kali. Dan semua itu terjadi setiap hari waktunya manusia. Wajar tidak kalau mereka letih? Wajar tidak kalau mereka kewalahan? Wajar tidak kalau mereka mencoba mencari jalan untuk meringankan sedikit saja kerja mereka. Mungkin bukan dengan mengurangi apa kegiatan yang harus dilakukan. Tapi dengan ‘membahagiakan’ diri dengan imbalan atas pekerjaannya saat itu juga. Manusiawi kah? Lalu, salah siapa?

Ini bukan tulisan pembelaan, atas ke-brengsek­-an oknum-oknum bernyawa itu. Ini ketikan biasa, atas peringatan untuk semua rangkaian episode di depan mata, bahwa semua kembali ke hati nurani yang memiliki Tuhan didalamnya.
     Terima kasih kepada teman kampusku yang sudah membuka pikiran ini sekali lagi. Dan terima kasih kepada ‘kamu’ yang sudah membantu menanggapi bincang-bincang lima menit yang gratis hari ini.




Salemba Tengah Gg.XI, November 2011
 
 
 

Ini cerita tahun dulu. Ini memori ketika aku berumur 13-15 tahun. Ini kisah ketika aku masih berdiri di atas tanah SMP Negeri I Muara Enim. Tuhan selalu baik padaku. Alhamdulillah. Sejak dulu. Ini adalah masa kejayaan untukku hidup dalam dunia persekolahan pra kuliah. Dulu, aku dinilai sebagai murid yang terpintar di sekolah. Dulu, aku dinilai murid terajin di SMP itu. Dulu, aku selalu benar-benar menjadi RATU di setiap nilai ulangan dan si setiap mata pelajaran, kecuali olahraga. Dulu, nilaiku selalu mencapai sempurna. Dulu, aku tak butuh menghabiskan beberapa kertas untuk menjawab soal matematika. Dulu, aku tak pernah menciptakan goresan pulpen merah diatas kertas ulangan.  Dulu, aku adalah nomor satu. Iya, tiga tahun berturut-turut aku selalu mendapat hadiah buku paling banyak daripada teman-temanku. Selalu.
Tapi, karena itu aku jadi manusia level tinggi. Karena kurangnya bersyukurku atas semua kenikmatan Tuhan itu, aku menjadi orang yang selalu haus kesempurnaan. Aku selalu menangis ketika nilai matematika ku hanya mencapai angka 8 atau 9, itu nilai paling bawah menurut kepuasan hatiku saat itu. Aku selalu menuntut jawaban yang benar ke guru-guru ketika nilaiku tidak mencapai 10. Aku tersedu sedan ketika nilai raport ku menurun padahal aku tetap nomor SATU.
Teman, kalian tau tidak? Ternyata selama aku menangisi nilai tidak sempurna itu, aku menyakiti hati teman-teman lain yang mungkin perjuangannya jauh lebih keras dari aku. Mereka tersakiti atas ketidakbisaan aku bersyukur atas nikmat dari Tuhan yang maha kaya itu. Ternyata, teman-temanku teriris hatinya ketika aku memilih membanjiri wajahku karena nilai ulangan Fisika yang hanya mencapai 9. Ternyata, teman-temanku terluka hatinya ketika aku meratapi turunnya nilaiku padahal posisi ku masih yang ter-emas.
Sekarang, aku yang tersakiti ketika teman seumur kuliah ku menangisi nilai A- nya padahal dia adalah termasuk penunggang terkaya nilainya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Mereka menyedihkan nilai dewa yang ada minus (-) nya itu. Meratapinya di twitter, menangisinya di Facebook. Tapi, itulah manusia.
Teman memang benar kok, kita akan lebih terpacu jika membandingkan dengan hasil yang terhebat. Memang benar, manusiawinya kita tak pernah puas. Tapi, jangan lupa. Jangan menutup mata. Jangan menyempitkan pandangan. Diluar sana, ada banyak orang yang berjuang keras demi memahami semua pelajaran kedokteran itu. Ada orang yang tidurnya jauh lebih sedikit dari kamu yang IQ nya selangit, demi masuknya materi-materi itu. Ada orang yang hampir memaki dirinya sendiri ketika dia belajar, karena dia lupa segalanya setelah dia berhenti sejenak. Ada orang yang rela membenturkan kepalanya ketika belajar, demi tersadarnya ia, karena ngantuk senang sekali bersahabat dengannya. Itu perjuangan orang-orang yang mungkin dibawah kamu, yang mungkin ingin mencoba seperti kamu, yang mungkin perjuangannya lebih keras dari kamu yang kaya IQ. Tolong lebih bersyukurlah untuk semua yang Tuhan hadiahkan untuk tiap tetesan keringatmu itu.

Jakarta, 12 januari 2010
Dari Aku masih di tempat yang sama, Wisma Rini   

Lagi-lagi ini cerita tentang gaya hidupku di Jakarta. Dari awal telingku “geleng-geleng” tanda ga nyaman dengan kalimat itu. Iya, mungkin karena aku bukan terlahir, makan, minum, dan sekolah disini dari kecil. Pas pertama denger, astaga! Saking ga maunya denger “elo-gue”, rasanya aku pengen bawa bantal kemana-mana dan nutup kepala ke dalam bantal setiap kali terdengar kata itu.
Tau kenapa? Karena alasan yang simple. Karena aku cinta Indonesia (hahaha, timpuk pake batu). Ga, ga, ini karena aku tau kalau penggunaan “aku-kamu” disini itu cuma dipakai untuk orang-orang yang sudah sangat dekat, misalnya pacaran atau sahabat. Lebih dari itu, termasuk ke teman angkatan yang notabennya adalah teman seumur kuliah (tapi, teman seumur kuliah, bisa jadi teman seumur hidup kok.hehehe) ga akan pernah dipakai tuh “aku-kamu”.
Semua orang berhak bercuap-cuap tentang pendapatnya. Semua orang juga berhak membuat kesimpulan untuk jalannya masing-masing. Semua orang berhak makan di pinggir jalan dan berbincang-bincang dengan pemilik kios dengan “aku-kamu”. Dan aku juga berhak untuk memantapkan hati untuk tidak menggunakan “elo-gue” selama bernafas di Jakarta, karena aku mau deket sama semua orang (ga tau deh, orang-orang itu mau ga deket sama orang imut kayak aku#abaikan) apalagi teman seumur kampus. Angkatan FKUI 2009 itu saudaraku. Masa sama saudara jauh-jauhan? XD




Jakarta, 12 Januari 2011
Dari depan laptop HP dikamar 106

Ini hari ke 526 aku ada di Jakarta, kota kelahiran negeri ini. Aku menuntun ilmu disini, kadang-kadang diwaktu senggang aku main ke mall disekitar sini. Atau lebih sering tidur diatas “tanah” Jakarta. Nonton ke Metropol naik bajaj. Makan ke Hokben Jatinegara naik motornya Hasna. Minum jus di kantin asrama. Atau sekedar berbincang ke pinggir pantai ancol bersama sahabat hatiku. (hehehe... XD)
Dari sini, aku banyak diajarkan sesuatu oleh Tuhan pencipta alam semesta. Aku digurui disini. Ada lebih dari satu “santapan” yang sudah aku “telan”. Aku jadi tau. Bahwa kalau naik angkot 01 ke Senen harus berangkat dibawah jam 8 biar ga macet dan cepat berangkat. Harus siap macet kalau pulang malam dalam keadaan jakarta ditangisi oleh Tuhan.
Di Jakarta itu harus siap tergesa-gesa naik kopaja, turunnya juga. Harus siap “empil-empilan” di kopaja sampai kampung melayu. Harus siap bersapa “hai” dengan adik-adik yang ga pake sandal, baju compang-camping, kotor, atau bapak-bapak yang cacat, matanya hilang sebelah atau bahkan yang hidungnya ga tau dimana. Ironis sekali keadilan dalam hidup ini. Di Jakarta juga harus siap berhadapan dengan orang-orang yang serba individualis. Harus siap keluar duit banyak kalo jalan-jalan, karena angkot nyambung-nyambung dan kadang-kadang dibumbui dengan kesasar lebih dulu. Harus siap nyebrang di lampu merah yang tetap aja motor dan mobil ambil kuasa, entah karena mereka semua buta warna atau memang mereka pikir “Jakarta punya gue, siape elu?”. Di Jakarta itu, harus siap bersahabat dengan luapan air kepunyaan Tuhan, sungai. Harus siap punya kos-an yang suasananya hampir sama sekali kumuh. Atau harus siap punya kos-an yang harganya semuanya hampir mampu mencekik orang tua. Harus siap kepanasan oleh panggangan mataharinya Tuhan. Harus siap cepat keriput karena kena polusi asap setiap hari. Harus siap membela diri kalau digodain abang-abang sopir tak tau malu. Harus siap keluar duit ekstra kalau mau masak, karena susah banget nyari pasar tradisional disini. Alfamart, alfamidi, carefour sudah jadi Raja disini.  Harus siap liat kebrobokan anak-anak sekolah yang hobinya “main” tawuran. Harus siap ngeliat cewek-cowok yang kalo pacaran lebaynya setengah metong. Harus siap juga ngeliat paha-paha mulus kadang putih kadang item (tambah ga tau malu ini orang) yang terpajang di hampir setiap mata memandang. Harus siap liat motor nyalip dengan “kurang ajarnya”. Harus siap melototkan mata ke mobil yang ngotot jalan ditengah lampu merah sedang menyala dengan klakson yang kedengeran sampe Palangkaraya, padahal kita masih berlenggang di jalan raya. Harus siap mental karena disini kesenjangannya sungguh jauh berbeda. Dan lain sebagainya. Ada banyak bumbu-bumbu yang akan membuatmu sedap disuatu ketika.
Yang terpenting, di Jakarta kita harus punya Tuhan. Harus punya bimbingan. Kalau ga, mana kita tau semuanya yang dihadiahkan Tuhan itu adalah upaya kita untuk jadi BERHARGA.

Jakarta, 11 Januari 2011
Dari sudut kamar 121, Wisma Rini

Halo, namaku Ratoe Suraya. Aku perempuan tercantik ketiga di keluargaku setelah ibu dan kakakku (hihihi...ini postive thinking atau negative thinking ya? XD). Panggilanku dijagat raya ini bejibun, di SMP kadang dipanggil mbak akta (sok tua dan ini karena request pribadi.hahahaha) gara-gara dulu hobi banget sama buku komik serial AKTA. Sehingga demikian kemudian, panggilan “mbak” ini akrab terlontar dari teman-temanku di SMA. Oleh banyak teman lainnya juga memanggil dengan nama biasa “ratoe à ratu”. Oleh my ubak papah ayah tercinta dipanggil “atu” (hmm...ada sih yang memanggilku dengan sebutan itu selain ubak, ah tapi itu masa lalu, let’s go). Oleh my umak mamah mami tersayang dipanggil “nga”. Oleh adek bungsuku di call “nga atu”. Oleh adek pertamaku di call “yuk su”. Di dunia perkuliahan nan senantiasa indah namun menyeramkan --____--“ dipanggil “mbok”, hebatnya lagi nama itu revolusi jadi “mak” dikalangan masa keluarga suraya. Nah, yang terakhir dipanggil sama ITU dengan nama yang membuat melayang, hehehe à aya..hehehe
Aku berbadan tinggi walau hanya 152 cm. Berat badanku ideal walaupun cuma 43 KG. Rambutku kayak bintang iklan sampo CLEAR walaupun kalau diurai jadi kaya setumpuk sapu ijuk kalau diraba. Kulitku mulus kayak Dian Sastro walaupun kadang-kadang kalau disentuh kasar gimana gitu.  Hidungku mancung juga kok walaupun sebenarnya ga jauh beda sama hidungnya SULE PRIKITIW, tumpul ga ada sudutnya.
Tapi, aku bersyukur masih bisa menghirup oksigen punya Tuhan dengan leluasa. Aku masih bisa berjalan kemana-mana, berbicara dengan orang sebelah kamarku, berpikir bagaimana caranya aku bisa ke dufan dengan uang sendiri, mengambil buku jatuh, membuat susu sendiri (haha), menyambut tangan sahabatku, dan lain sebagainya. Allah masih menitipkan segenap kemampuan padaku, kemampuan yang bisa membuat aku BERHARGA