November
17
Sekarang jendela malam Tuhan sudah turun. Jelas, mungkin enam puluh detik lagi, adzan dari masjid kampusku mengutara di senja yang hampir habis mataharinya hari ini. Dia, tiba-tiba dengan gaya seperti baru saja ditipu mentah-mentah lalu membela diri mengomel tapi bukan hanya sekedarnya.
“Ini kenapa sih ga dibuang aja yang kayak gini-gini? Asep udah segitu item.”
Aku teman sebayanya yang ikut menoleh keluar kaca, mencari siapa tersangka yang dimaksud lalu mencoba menyambut pembicaraan tadi.
“Ga bisa Jonai. Mereka itu sudah dicek di badan xxx. Meski udah se-item itu asepnya tapi, disana mereka bayar. Jadi ya tetep ada yang kayak gitu-gitu.”
“Emang abis berapa sih duit buat bayar begituan?”
“Ga tau sih. Masukkin kendaraan kesana aja bayar sama petugas masuk 20.000, bayar buku baru tanda sudah cek kendaraan mungkin 50.000-75.000-an, nanti keluar bayar lagi 20.000. Bukunya itu, buku tanda klo kendaraannya baik-baik aja. Yaaaa...mungkin 100.000-an atau 150.000 kali paling mahal. Jelas mau lah ya mereka bayar, kan kl ganti onderdil kendaraan lebih mahal.”
“Iya sih. Ya udah deh, langsung buang aja kl nemu yang gitu. Gak perlu lagi di cek-cek segala.”
“Sekarang aku tanya, emang yang mau buang itu kendaraan siapa?”
Suara laki-laki dua puluh tahun itu mulai melunak. Sejenak dari kaca kecil dalam mobil kuintip, duduknya yang tadi tegak tegap berdiri gagah dengan semangat berkobar mungkin, menyesaki dada juga mulai mengendur membungkuk sedikit lalu bersandar di kursi mobil.
“Iya sih. Tapi, pasti masih adalah yang mau nanganin. Masa ga ada sama sekali? ”
“Ada, mesti ada. Cuma, kalau baik tapi berdiri sendiri? 1 lawan 100? Kita mau apa? Klo kita ga mau curang misalnya, tapi memang rule di pemerintahan sudah begitu. Mau gimana lagi? Memang sudah mendarah daging kan?”, balasku kembali juga dengan kesedihan yang sama dan mendalam atas ke-brengsek-an oknum Negeri bahari yang kaya sekali ini.
“Iya. Memang sudah jadi tradisi sih. Tapi harusnya masih ada. Harusnya bisa!”.
“Iya. Di dinas kesehatan juga ada yang kayak gitu-gitu”, laki-laki ku menambahkan kalimatnya di ujung pembicaraan.
Bincang-bincang gratis itu dibuka oleh teman sejawatku. Dia, Johny Bayu Fitantra. Terang sekali dari protesnya di senja jakarta tadi itu karena ke-care-annya atas lingkungan. Bukan apa-apa. Bukan karena ingin sok sebal. Juga bukan sekedar iseng komentar. Tapi, mau menyalahkan siapa aku juga mulai bingung.
Kendaraan ada tanda kemajuan transportasi. Alhamdulillah donk ya. Semakin banyak pengguna Avanza, Innova, Jazz, Karimun, Alphard, CR-V, Hammer juga tanda semakin banyak kepala-kepala manusia yang sejahtera. Alhamdulillah kan?
Sekarang, kalau mengulik bajaj, angkot, dan bis dalam kota. Jumlahnya tak cukup dihitung dengan jari kaki dan tangan seratus orang. Artinya jumlah kendaraan umum yang berlenggang dijalan ibu kota (termasuk kendaraan yang jalan sesuka hatinya), ada banyak. Semua kendaraan itu tiap waktunya selalu diisi oleh para mandiri yang mobil motor pribadinya masih di dealer dan belum dibayar (baca: ga punya mobil motor). Artinya lagi, kendaraan-kendaraan umum itu menolong mereka yang membutuhkan. Dan yang mengkonsumsi layanan ini juga menolong balik dengan membayar kewajibannya ke pemilik kendaraan. Saling tolong-menolong, toh? Alhamdulillah juga kan?
Lantas, kalau bajaj, angkot, bus kaleng dengan asap hitam itu digudangkan, penghasilan para imam dari wanita-wanita berkeluarga itu darimana? Bukankah mencari pekerjaan itu tidak semudah berdiri dari duduk? Tidak semudah membuka halaman buku lembar demi lembar. Juga tidak semudah meneguk minuman segar.
Lalu, kepada bapak dan ibu yang bekerja di tempat pengecekan kendaraan. Duduk berjam-jam. Mengetik berulang-ulang. Membuka gerbang ribuan kali. Melihat-lihat kerusakan mobil ratusan ribu kali. Menghidup-matikan alat pengecek mesin jutaan kali. Mengecap buku kendaraan tanda selesai “masuk rumah sakit” juga jutaan kali. Dan semua itu terjadi setiap hari waktunya manusia. Wajar tidak kalau mereka letih? Wajar tidak kalau mereka kewalahan? Wajar tidak kalau mereka mencoba mencari jalan untuk meringankan sedikit saja kerja mereka. Mungkin bukan dengan mengurangi apa kegiatan yang harus dilakukan. Tapi dengan ‘membahagiakan’ diri dengan imbalan atas pekerjaannya saat itu juga. Manusiawi kah? Lalu, salah siapa?
Ini bukan tulisan pembelaan, atas ke-brengsek-an oknum-oknum bernyawa itu. Ini ketikan biasa, atas peringatan untuk semua rangkaian episode di depan mata, bahwa semua kembali ke hati nurani yang memiliki Tuhan didalamnya.
Terima kasih kepada teman kampusku yang sudah membuka pikiran ini sekali lagi. Dan terima kasih kepada ‘kamu’ yang sudah membantu menanggapi bincang-bincang lima menit yang gratis hari ini.
Salemba Tengah Gg.XI, November 2011